Soal dan Doa



Membaca serta memperhatikan beberapa bacaan dan soal yang tersedia di buku Pelajaran Bahasa Indonesia kelas rendah karangan Oesman dan C. F. Ijspreert, membuat ingatan ini kembali ke sekolah, tempat di mana aku melaksanakan wiyata. Setiap kali mengajar, soal menjadi kebutuhan pokok untuk menilai siswa. Tidak tanggung-tanggung, soal yang kuberikan ada tiga macam kategori, yang terdiri dari soal individu, soal kelompok, dan juga soal evaluasi.
Di dalam buku Oesman ini, tersedia enam bacaan. Dari keenam bacaan yang tersaji, terdapatlah beberapa soal. Tersedia soal yang masih dalam lingkup bacaan dan ada yang bersifat mengembangkan bacaan. Bila seperti yang pertama, maka dapatlah dianggap sebagai perbuatan menyalin. Bila soal itu dikembangakan, maka itu menjadi sebuah ajang bagi siswa untuk menambah kecakapan dalam perkembangan pengetahuannya. Adapun soal yang terkait dalam bacaan atau tidak, seolah-olah kita diminta untuk belajar secara bertahap seperti menaiki tangga, dari satu tingkat berlanjut ke tingkat selanjutnya.
Seperti fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013, yaitu bahasa sebagai penghubung atau jembatan mata pelajaran lainnya. Maka wajarlah bila buku Pelajaran Bahasa Indonesia ini, juga memuat soal yang berkaitan dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mengungkapkan terkait dengan rantai makanan. Berikut contoh soalnya “Harimau menerkam….”, “Elang menjambar….”, dan “Ikan memakan….” (hlm 32).  Pastinya, mata pelajaran ini juga memuat tentang Ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan lain sebagainya.
Memabaca soal-soal yang bertebaran di buku ini, agaknya tidak sulit dan juga berat jika soal dikonsumsi para siswa yang duduk di kelas III SD. Karena, rata-rata soal yang tersedia ini tak jauh dari kehidupan nyata sehari-hari mereka. Sekolah, Waktu bermain-main, Hudjan, Memasak, Mengail, dan Nakal ialah beberapa judul bacaan yang berada di dalam buku. Keenamnya merupakan keseharian yang biasa dijumpai dan dekat dengan siswa.
Soal-soal seperti ini akan lebih mudah dipahami siswa jika dibandingkan dengan soal-soal yang mengajak peserta didik untuk berimajinasi. Pada suatu magang mengajar, pernah aku mengajar pelajaran bahasa Indonesia di kelas V, saat itu aku mengajar tentang syair. Setelah kuberikan contoh bacaan tentang syair dan kuterjemahkan syair tersebut. Ternyata, setelah kuberikan soal syair yang hampir sama, mereka kesusahan untuk menerjemahkannya.
Penerjemahan itu pun telah kubebaskan dari nilai yang mengikat dan membuat takut peserta didik. Aku berkata kepada mereka “terjemahkan sebisa kalian, semampu kalian, dan ini tidak akan saya nilai.” Tetap saja mereka kesusahan dan takut salah dalam menjawab soal syair yang kubebaskan dari nilai yang awalnya membuat mereka takut salah yang berdampak pada nilai yang jelek. Di sinilah terbukti, bahwa menjawab soal yang berimajinasi lebih sulit bila dibandingkan dengan menjawab sebuah  pertanyaan biasa.
Di dalam kelas, soal tak selalu menjadi sebuah ketakutan yang membuat hati para siswa berdebar-debar. Ada saat-saat tertentu, di mana soal menjadi hal yang ditunggu-tunggu untuk dikerjakan secara cepat. Hal itu dapat ditemui ketika guru memberikan kuis untuk menambah kredit nilai dan juga terjadi pada saat jam belajar siswa hampir usai. Pernah kulihat seorang guru memberi soal dengan berkata “Siapa yang sudah selesai mengerjakan soal terakhir ini, maka boleh langsung pulang.” Peserta didik, seketika itu bergegas untuk menyelesaikannya.
            Tak berhenti disitu saja, soal juga menyebabkan orang untuk menjadi rajin dalam menjalankan agamanya. Menjelang masa-masa yang krusial seperti Ujian Nasional, membuat agenda yang bertaburan dengan doa-doa serta petuah-petuah dari seorang kiai marak dilakukan. Hingga, acara ini menjadi rutinan berganti dari satu rumah siswa ke rumah lainnya sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Mendekati hari-H Ujian Nasional, mereka berdo’a pada Tuhan dengan begitu khusuk dan ikhlas. Satu agenda yang biasanya dijalankan ialah mengumpulkan pensil dan penghapus yang nantinya akan dipakai dalam Ujian Nasional. Penduduk kelas, satu-persatu mengumpulkan pensilnya untuk diberi do’a. Biasanya mereka memintakan doanya kepada seorang kiai. Konon, pensil tersebut dipercayai dapat membantu seseoarang dalam mengerjakan soal.
            Bila dinalar, perbuatan semacam itu tidak berdampak ketika nantinya Ujian Nasional berlangsung. Jadi, menggunakan atau tidak sama saja hasilnya, yang membedakan ialah usaha, belajar. Namun, bila sudah menjadi semacam tradisi dalam memudahkan untuk mengerjakan soal, megapa tidak dicoba saja? Bagiku, semacam itu hanya sebagai perantara. Bukanlah perbuatan syirik. Hanya saja, jangan sampai niat kita salah. Seperti itu.

Komentar

Postingan Populer