Menyingkap Dunia Literasi




Sejak di sekolah dasar kita telah diajarkan empat aspek dalam pembelajaran bahasa Indonesia, mendengar, membaca, menulis, dan berbicara. Bahkan hingga di perguruan tinggi, kita masih diajarkan. Akan tetapi, mengapa minat baca masyarakat kita begitu rendah. Dari hasil survei Human Development Index, pada tahun 2014 minat baca Indonesia berada diurutan 39 dari 42 negara.

Menurut (Arixs: 2006) faktor penyebabnya ialah sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat kita harus membaca buku; banyaknya tempat hiburan, permainan, dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian masyarakat dari membaca buku; dan budaya membaca memang belum diwariskan nenek moyang kita; serta budaya tutur masih dominan daripada budaya membaca.

Di abad 21 ini, seharusnya budaya membaca semakin bertambah. Sebab, teknologi telah mempermudah pekerjaan dalam membuat atau memperoleh berbagai produk seperti majalah, koran, buku, dan e-book. Ada beberapa cara sederhana untuk menambah minat baca yaitu: membangun motivasi pada diri sendiri, menentukan tujuan membaca, merencanakan waktu untuk membaca, dan menambah koleksi buku.

Membaca buku memang bukanlah tindakan naluriah manusia, seperti berantem dan membalas gigitan nyamuk. Kita tak perlu berikhtiar terlalu keras, karena kecakapan berantem dan membalas nyamuk ialah tindakan bawaan sejak bayi. Berbeda dengan membaca buku, kita memerlukan ikhtiar lebih. Bila tidak membiasakan membaca buku, kita tidak akan memiliki kecakapan membaca buku. Dan bila kita tidak menjadikan membaca buku sebagai kebutuhan, kita tidak akan memiliki kebutuhan membaca buku.

Membaca tanpa menulis, seperti makan tanpa berak. Selain itu, bacaan-bacaan yang kita baca akan pudar seiring berjalannya waktu. Pramoedya Ananta Toer bertutur “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Begitulah, nasib pengetahuan di tangan para pembaca yang tak gemar menulis.

Sama seperti membaca, menulis bukanlah tindakan naluriah manusia. Maka membutuhkan keinginan kuat dan ikhtiar lebih dalam melakukannya. Orang-orang yang mempunyai kecakapan dalam menulis tak lepas dari kebiasaannya tiap hari. Mustafa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus ialah kiai yang mahir menulis cerpen. Kemahirannya tak lepas dari rutinitas beliau dalam menulis setiap hari dengan satu karya. Hal serupa juga dilakukan oleh penulis-penulis seperti Goenawan Muhammad, Seno Gumira Ajidarma, Soe Hok Gie, Radhar Panca Dahana, Bandung Mawardi, serta penulis lainnya.

Memang arti literasi ialah kesanggupan membaca dan menulis. Akan tetapi, jangan lupa bahwa ada dunia yang juga dapat dikatagorikan sebagai literasi, yaitu diskusi. Bagi para pembaca dan penulis mereka akan membutuhkan forum-forum seperti diskusi. Bila tidak ada, mereka akan gelisah dan berikhtiar membuat forum sendiri. Sebab, bagi mereka diskusi merupakan wadah yang menyenangkan untuk saling memberi dan bertukar informasi.

Selain itu, diskusi dapat dijadikan tempat untuk melatih kedewasaan kita dalam mengobrolkan sesuatu. Sebab, seringkali yang awal mula tujuannya berdiskusi dapat berubah menjadi perdebatan kusir yang tiada ujung dan kesepahaman bersama. Penyebabnya, tak lain ialah kurangnya kesadaran untuk saling memahami dan ego yang tinggi dari masing-masing peserta diskusi serta kurangnya pengetahuan dalam suatu pembahasan perkara.

Adalah hal yang membahagiakan ketika Indonesia tahun ini menjadi tamu kehormatan di acara Frankfurt Book Fair di tengah rendahnya budaya literasi negeri ini. Sebab kita mendapat kesempatan untuk menyuguhkan berbagai karya seperti buku, seni tari, musik, dan lain sebagainya. Acara yang diadakan tiap tahun ini, sejatinya dapat menjadi pemantik untuk meningkatkan dunia literasi di Indonesia. Sebab, beberapa buku dari pengarang seperti Eka Kurniawan, Leila S. Chudori, Ahmad Tohari, dan lainya diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman.

Akan tetapi, Indonesia gagap dalam merespon kesempatan baik ini. Persiapan panitia yang kurang baik, membuat mereka harus bersiasat dalam penerjemahan buku ke dalam bahasa Jerman. Mereka akhirnya menyiasati dengan menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Inggris. Semua itu, dilakukan agar kita tak menanggung malu. Padahal, jauh-jauh hari Indonesia telah mengetahui akan kabar ini.

Namun, apapun keadaan dan kondisi di dalam dunia literasi, kita sebagai mahasiswa dan bangsa yang besar harus tetap melangkah dan memanggul rasa optimisme dengan penuh keberanian demi menumbuhkan budaya literasi. Kita tak boleh tanggung-tanggung atau setengah-setengah jika tak ingin budaya literasi punah.


Semarang, 17 Oktober 2015.

Komentar

  1. Super sekali uncle, semangat terus berkarya 😘😘

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer