Menangkal Xenoglosofia dengan Neologisme
Dua Mei selain diperingati sebagai hari pendidikan
nasional juga diperingati sebagai hari kelahiran Bahasa Indonesia. Kelahirannya
ditandai dengan kongres pertama para pemuda. Berawal dari situ, kini bahasa
Indonesia menjadi bahasa nasional yang kita sepakati sebagai alat komunikasi berasama.
Sejak duduk di bangku SD, kita sudah diajarkan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Namun, bahasa yang telah kita sepakati itu, belum
banyak digunakan secara sahih dalam menulis atau berbicara. Kita bisa
berperasangka bahwa itu akibat adanya pembelajaran bahasa asing yang diajarkan
sejak dini dan adanya pemakaian bahasa asin dirasa sebagai bahasa yang lebih
bergengsi. Sehingga kita lupa bahwa kita
mempunyai bahasa yang telah kita sepakati bersama. Hal inilah yang mungkin
membuat adanya percampuran anatara bahasa asing dan Indonesia ketika seseorang
mengobrol dan itu dinamakan dengan Xenoglosofilia.
Adanya fenomena Xenoglosofilia ini, direspon oleh Ivan
lanin dengan mengarang buku Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris? Buku karangan Lanin ini menjadi catatan tersendiri bagi
kita untuk kembali belajar menggunakan bahasa Indonesia secara baik, benar dan
juga bangga walaupun itu adalah kata serapan dari bahasa, Belanda, Inggris,
Arab, Portugis, serta Perancis dan lainnya.
Ivan Lanin yang bukan berlatar belakang jurusan bahasa
patut kita apresiasi karena telah merawat dan mengingatkan kita untuk
menggunakan bahasa secara benar dan menagnjurkan membuat padanan terhadap bahasa
asing yang disebut neologisme. Memang biasanya neologisme terasa janggal jika
baru muncul, akan tetapi Ivan Lanin menampiknya dan mengatakan “Bahasa
Indonesia tidak akan pernah berkembang jika kita tidak berani memperkayanya
dengan istilah-istilah baru. Percaya deh, kejanggalan yang mungkin dirasakan
hanyalah karena masalah keterbiasaan.”
Dari pernyataan ini, tentu ada harapan untuk seutuhnya
dalam penggunaan bahasa Indonesia ketika berbicara. Untuk itu, kata seperti Penjamuan
untuk kata Hospitality, Pranala untuk
kata Hyperlink, Narablog untuk kata blogger yang merupakan neologisme patut
kita biasakan dalam keseharian ketika menulisa atau berbicara.
Kosa kata baru akan terus bermunculan seiring dengan
zamannya, tentu kesiapan kita sebagai warga pengguna bahasa Indonesia akan
selalu dihadapkan pada pilihan antara menggunakan bahasa asing atau membuat
neologisme sebagai alat pertahanan. Ini pilihan yang sulit, sebab seringkali
kemunculan neologisme datang belakangan setelah bahasa asing terlanjur menjadi
popular.
Apalagi belum tentu semua masyarakat ingin mengetahui
makna dari suatu kata dan mencari artinya dalam bahasa Indonesia. Untuk
mengejar kertertinggalan dan memudahkan masyarakat mengetahui bahasa Indonesia
dari bahasa asing, harapan kita ada pada media. Kita tentu berharap media-media
turut memahami persoalan ini dan lebih memilih memakai bahasa Indonesia yang
benar.
Lanin, di dalam bukunya tidak hanya membahas persoalan
neologisme belaka, akan tetapi juga tentang pertanyaan penggunaan kata atau maknanya
serta pembedaan terhadap kata yang hampir sama. Beberapa contohnya ialah
seperti Apa perbedaan makna jam dan pukul?, Bagaimana cara menulis singakatan
dan akronim?, lemari dan almari, perinci dan rinci, dimungkiri dan dipungkiri,
dan lainya.
Upaya penerbitan buku ini adalah pengingat bagi kita
bahwa dalam penggunaan bahasa, kita harus berhati-hati. Keteledoran sedikit
saja, seperti beda huruf saja bila dibiarkan dan digunakan terus menerus akan
menjadi bahasa yang popular sehingga jika dimunculkan padanan atau kata
Indonesianya menjadi tidak efektif dan untuk mengganti itu, akan memakan waktu
yang lama. []
Komentar
Posting Komentar