Kepada Para Penulis Gegabah
Berusaha berbuat baik sudah menjadi bagian dari
kehidupan manusia. Bahkan kita dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam berbuat baik. Karena, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Namun,
ketika cara yang digunakan adalah dengan istilah “ngerek genderane dewe tapi nglorot genderane wong liya….” (hlm 51), apakah itu dibenarkan? Tentu, tidak. Sebab, ketika kita tumbuh
seperti rumput bagi tanaman padi, kita justru hidup cuma untuk membuat kerugian
bagi orang lain.
Terbitnya buku KHR.
Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara atau disebut SAQ pada
tahun 2016 ini selang beberapa waktu memunculkan tanggapan kritis dari keluarga
Madrasah TBS Kudus. Ada tiga hal yang dipermasalahkan di buku, pertama,
penggunaan kata school dianggap
sebagai kompromi dengan penjajah. Kedua, tentang adanya penyebutan nama yang
tak konsisten dan tidak adanya sumber otentik. Ketiga, penyebutan “biasa-biasa saja” (tidak alim) terhadap KH. Ma’mun Ahmad.
Beberapa permasalahan membuat keluarga TBS memunculkan
sebuah buku berjudul Dalil Sejarah TBS.
Buku dibalas buku
(catatan resensi) tidak akan terjadi bila
pertanggungjawaban yang diminta terpenuhi dengan baik. Di dalam buku itu kita
akan mendapati bahwa buku SAQ pengerjaannya gegabah, kurang teliti, tidak adanya
konfirmasi pada pihak bersangkutan, dan
tidak memakai sumber yang lengkap.
Gegabah dan Kurang
Teliti
“Madrasah Tasywiquth Thullab Balai Tengahan School
yang didirikan oleh K.H.A Kholiq pada 21 November 1928 (Penggunaan kata School
adalah bagian dari kompromi dengan Belanda….)” (hlm 37). Kutipan ini menyebut penggunaan
kata School pada kata TBS sebagai
wujud kompromi adalah penyebutan gegabah yang harus diluruskan. Apalagi
penyebutan tidak didasari oleh bukti atau referensi yang kuat. Jika hal ini dilanjutkan kemungkinan akan menyesatkan anggapan
banyak orang perihal sejarah TBS.
Adanya ordonansi sekolah pada saat penjajahan membuat
pilihan antara ditutup atau dibuka. Penutupan sekolah bisa terjadi karena
sekolah melawan secara terang-terangan atau mungkin tak mengetahui siasat lain
agar sekolah tetap eksis. Penggunaan kata school
pada TBS tak lain adalah siasat belaka. Jika disebut kompromi, maka sudah sejak
1928 pendiri sekolah mendaftarkan sesuai keinginan penjajah, bukan dengan nama
TB.
Penulis SAQ dalam pembahasan school juga membandingkan antara Qudsiyyah dan TBS serta sekolah
lainnya. “Kenyatannya, sejak awal Madrasah Qudsiyyah tidak
mau bekerjasama atau sekedar diakui pemerintahan kolonial Belanda yakni dengan
tidak memberi kata school ke dalam nama Qudsiyyah. Berbeda dengan beberapa nama
Madrasah lain….” (hlm 47).
Jika melihat kutipan itu, apakah penulis SAQ tak
menyadari?
Tanpa perubahan atau penambahan kata school, sekolah-sekolah tetap masih bisa berdiri seperti Qudsiyyah di zaman
Belanda menjajah Indonesia. Sebab, kita tahu vakumnya Qudsiyyah terjadi di masa
penjajahan Jepang. Dari sini, memperlihatkan bahwa tulisan di SAQ ditulis secara gegabah dan kurang teliti.
Ketidaktelitian juga terjadi pada penyebutan nama pendiri
TBS. Antara nama K.H.A Kholiq dengan KH. Arwani. Kesalahan menandakan
ketidakseriusan penyunting dalam bekerja. Sebab, kesalahan ini dapat
menimbulkan kebingungan bagi pembaca dan adanya anggapan buku yang sedang
dibaca adalah buku abal-abal dan tak pantas untuk diterbitkan.
Menerbitkan buku kini memang mudah. Hingga membuat
orang untuk berlomba-lomba menerbitkan buku agar dianggap menawan, piawai, dan terpelajar. Boleh-boleh saja anggapan itu muncul. Asal isi buku
mempunyai kualitas yang baik dan tak dikerjakan secara sembrono. Karena buku
mempunyai nasib dan usia.
Setiap buku mempunyai usia masing-masing, jika
pembutannya ngawur maka jaminannya buku akan berumur pendek. Buku-buku yang
berumur panjang biasanya dibuat dengan perencanaan matang dan melalui seleksi
ketat. Hal ini dapat kita lihat terhadap umur kitab Al-Fiyyah Ibnu Malik karangan Ibnu Malik
yang masih dipelajari hingga hari ini.
Lagi-lagi penulis SAQ terlalu gegabah dalam menyebut
KH. Ma’mun sebagai kiai biasa. “Seperti contoh K. Ma’mun TBS itu sebenarnya
orangnya biasa-biasa saja, cuma ayahnya orang
alim dan mempunyai pondok sehingga beliau menggantikannya.” (hlm 105).
Memberi anggapan tidak sopan kepada orang shalat yang
memakai kaos, itu saja tidak boleh. Apalagi, memberi label bagi seorang ulama
dan menyamakannya dengan orang lain. Jelas, itu
dilarang. Arti alim dalam KBBI adalah seorang yang mempunyai ilmu. Apakah KH.
Ma’mun tidak berilmu? Tentu pertanyaan ini tidak perlu kita jawab. Penyematan
kata “biasa-biasa saja” (tidak alim) memperlihatkan para penulis SAQ gegabah dan
tiada
penghormatan bagi seoarang kiai. Kita harus
sepakat buku SAQ tidak perlu dibaca dan dicetak ulang melihat
dari cara kerja pembuatannya. Karena, ini tak lebih dari sekadar buku proyek.
Hadirnya peristiwa seperti ini, patut kita jadikan
sebagai bahan pembelajaran soal dunia literasi. Bahwa ada banyak aspek yang
harus dipenuhi ketika membuat buku. Kita tak menyangsikan keilmuan para penulis di buku SAQ. Tapi, jika melihat
buku SAQ dari Dalil Sejarah TBS, ada
banyak keluputan yang harus dibenahi.
Buku, ketika sudah dihadirkan ke publik, maka siapa pun berhak mengoreksi keluputan di dalamnya. Maka, untuk meminimalisir
kesalahan dan buku dapat bernasib baik, kita perlu menggunakan kerja-kerja
seperti koreksi kata, koreksi data, dan verifikasi kepada pihak yang bersangkutan. Buku Dalil Sejarah TBS adalah salah satu contoh buku yang dapat
dipertanggungjawabkan jika melihat kelengkapan dari catatan kaki dan referensi yang dicantumkan. []
Judul
Buku : Dalil Sejarah TBS
Pengarang : M. Abdullah Badrri
Penerbit : Diroz Pustaka
Tahun Terbit : Desember 2018
Tebal Halaman : xi + 154 halaman
Pengarang : M. Abdullah Badrri
Penerbit : Diroz Pustaka
Tahun Terbit : Desember 2018
Tebal Halaman : xi + 154 halaman
Komentar
Posting Komentar