Ruang (kelas) Belajar
Ruang kelas
menjadi arena bagi guru untuk berkreasi. Di sana, guru seperti tuhan.
Menghadirkan sebuah dunia nyata ke dalam sebuah ruangan persegi yang di
dalamnya terdapat meja, kursi, papan tulis, dan lainnya. Di kelas, guru
menyederhanakan dan menyusun sebuah imajinasi tentang kehidupan sehari-hari.
Sawah, binatang, pohon, dan alat rumah tangga menjadi bahan ajar yang dihadirkan
di kelas dalam bentuk kata dan gambar.
Pemahaman
siswa seringkali tak sesuai dengan kenyataan yang ada di sekitar lingkungan.
Anak-anak menjadi latah dan tak mengenal lingkungan sekitar. Anak-anak kota tak
mengenal desa dan anak-anak desa tak lagi mengenal kota. Kelatahan harus
disadari oleh para guru bahwa ruang kelas belum
sempurna.
Adanya pembelajaran
di luar kelas masih menjadi media ampuh dan dipercaya oleh para guru yang akan
mengatasi kelatahan siswa dalam merespons pembelajaran di kelas. Pada masa Orde
Baru, aktivitas lebih lekat dinamai study
tour dan kini ramai dilakukan dan menjadi agenda tahunan sekolah.
Pembelajaran di luar kelas ini tak hanya diselenggarakan di dalam kota tapi
juga keluar kota.
Dalam buku
Saksi Mata karangan Seno Gumira Adji Darma, Alfonso seorang guru sejarah
membawa para muridnya ke pekuburan untuk belajar sejarah. Kuburan ingin
didudukan setara dengan ruang (kelas) belajar. Simaklah percakapannya sewaktu
ia mengajak para muridnya “pelajaran macam apakah yang harus diajarkan di luar
kelas?” Tentu saja pelajaran sejarah yang tidak bisa diajarkan di dalam kelas,
Florencio.”
Dari kisah
guru Alfonso, kita mengetahui pembelajaran harus dilakukan dalam dua cara. Di
dalam dan di luar kelas. Berteori dan praktik. Memilih salah satu sangat
beresiko. Menjadi gagal faham saja jika murid di berikan dalam bentuk teori
yang hanya menghasilkan sebuah pengetahuan tanpa pengalaman secara langsung.
Suasana
kelas yang telah dipenuhi dengan pelajaran-pelajaran serta soal-soal yang harus
dikerjakan dengan benar tentu menambah kesedihan para murid, jika mereka
mengetahui bahwa pelajaran mereka yang selama ini dipelajari belum tuntas,
tentu mereka akan bertambah sedih. Bahakn bisa jadi mereka akan memutuskan
untuk malas belajar atau memutuskan untuk berhendi bersekolah.
Dalam novel
Dua Pasang Mata karya Sakae Tsuboi, Miss Oishi menghilangkan sebuah kesedihan
bersama muridnya dengan pergi ke tepi pantai. Mereka menghibur dirinya dengan
bernyanyi lagu “Tukang Cukur Yang Ceroboh” simaklah lagu yang telah mengusir
kedihan dan mendatangkan keriangan. “Kepiting membuka kios tukang cukur. Kres,
kres, kres. Kres, kres, kres.”
Pelajaran
memang tak harus melulu berada di kelas. Pantai pun dapat menjadi tempat asyik
yang memungkinkan orang untuk belajar dan bergembira. Selain itu, kini kita tahu, bahwa ada juga
mata pelajaran yang dapat berguna bagi kita tanpa harus menunggu beralama-lama.
Miss Oishi dan para muridnya telah membuktikannya pada pelajaran musik yang
telah dipelajarinya pada semester pertama.
Keberadaan
ruang kelas, memang tak bisa dihilangkan dan harus tetap dipertahankan. Sebab,
sejarah kemerdekaan Indonesia diraih dari dalam ruang kelas. Ki Hadjar Dewantara,
Mohammad Syafei, dan Willem Iskandar adalah orang-orang yang telah mengajarkan
nilai-nilai kebangsaan bagi para murid untuk memperoleh sebuah kemerdekaan.
Hingga kini,
ruang kelas masih dipercaya oleh para guru dan orang tua. Anak-anak tiap pagi
masih berangkat dengan ceria ke ruang-ruang kelas yang berada di sekolahan. Melihat
apapun kondisi yang ada di dalam dunia pendidikan, penulis tetap yakin keadaan
akan membaik. Ruang kelas dan studi tour
masih harus diperbaiki lebih lanjut agar mendekati kesempurnaan dan melahirkan
manusia sesuai dengan tujuan pendidikan dan kebutuhan zaman.
Di zaman
yang besar ini, kita tentu berharap bahwa generasi-generasi mendatang akan
mempunyai pemikiran sesuai dengan zaman dan tak melahirkan manusia yang
berpikir kerdil. Penulis masih percaya jika ruang kelas masih menjadi penjaga
gawang utama di Indonesia yang akan melahirkan para murid berpikiran luas dan
menjadi manusia luwes. Semoga!
Komentar
Posting Komentar