Aku dan Kamus Arab
Lingkungan tak ubahnya sebuah cermin bagi kehidupan manusianya. Sedikit banyak ciri khas dari suatu lingkungan pastinya akan melekat pada orang yang berada di situ. Dari tingkah laku, sifat, dan gaya biacaranya akan beraroma dari tempat asalnya. Berada di sebuah lingkungan orang yang mabuk, pastinya banyak masyarakat yang akan menganggap orang itu sebagai seorang pemabuk dan lingkungan itu berdampak mudah merubah seseorang menjadi seorang pemabuk.
Lingkungan
begitu ampuh. Ia mampu merubah dan melabeli seseorang. Hal itu juga pernah
kualami. Berawal dari perpindahan lingkungan dan pendidikan di tingkat MI ke
tingkat MTs, kebiasaan dan tingkahku harus diubah karena sebuah peraturan
lingkungan. Lingkungan yang kutempati semasa MTs ialah pondok pesantren. Saat
itu aku harus beresekolah dan belajar dipondok juga. Pondok sering diidentikkan
dengan tempat pencetak ahli agama atau seorang kiai.
Lingkungan pondok
selalu beraroma dengan dunia keagamaan dan budaya sarungnya. Semua penghuni
pondok yang bertempat tinggal di situ mempunyai kewajiban untuk belajar
Al-Qur’an serta kitab kuning. Kedua kitab itu memakai bahasa arab yang diartikan
menggunakan bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf pegon. Biasanya penulisan pegon
tersebut ditulis dengan posisi miring.
Mempelajari
kitab kuning begitu membutuhkan kesabaran, karena pembacaan kitab kuning harus
melalui beberapa kaidah, belum lagi bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab. Dari
susunan kalimat yang ada, kita perlu mencari arti kata di dalam kamus. Di kalangan
santri sering kali menggunakan kamus bahasa Arab berjudul Al-munawwir. Al-Munawwir merupakan sebuah kamus Arab-Indonesia yang
terlengkap, paling tebal, dan legendaris di Indonesia.
Karena banyaknya pesantren-pesantren yang berkiblat pada kamus
ini.
Kamus
setebal 1634 halaman ini disusun KH. Ahmad Warson Munawwir,
beliau seorang pengasuh pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Proses membaca kitab kuning pun
tak dapat lepas dari membaca kamus. Sering kali saya membuka kamus untuk
menemukan kata-kata yang sulit dan jarang ditemui. Namun, semua yang kucari
belum tentu terekam dalam memori otakku. Banyak kata yang kutemui di kamus yang
beberapa saat setelah itu tiba-tiba menghilang. Sehingga harus kubuka-buka
kembali kamus itu untuk menemukan kata-kata yang pernah kutemui.
Hal seperti itu
terjadi beberapa kali dan dapat dikatakan sering. Hingga kuputuskan untuk
mencatatnya di pojok pinggir atas dan pojok pinggir bawah. Hingga, kitabku yang
semula bersih, kini penuh dengan sebuah tulisan bahasa arab yang disebelahnya
terdapat artinya. Kitab dan kamus menjadi dua sejoli tak terpisahkan dalam
proses belajar membaca kitab kuning. Bahkan, seorang kiai yang sudah mahir
membaca kitab pun masih menggunakan kamus sebagai refrensinya.
Bagi seseorang
yang ingin belajar bahasa arab, biasanya tak menggunakan kamus Al-Munawwir,
ketebalan kamus membuat kesulitan bagi orang yang ingin membawanya kemana-mana.
Maka banyak dari santri-santri yang menambah kosa katanya dengan menggunakan
sebuah kamus yang berukuran kecil. Kamus yang biasanya berisi kegiatan, nama,
dan benda-benda yang sehari-hari kita temui di kehidupan nyata.
Belajar kamus terkadang
menemui kejenuhan dan tak luput dari hal yang menyenangkan. Berpetualang di
dalam kamus membutuhkan kesabaran karena begitu menyita banyak waktu untuk
membolak-balik halaman. Waktu ini tah ubahnya ialah ujian bagi orang yang
sedang belajar. Apalagi jika kita melihat kamus Al-munawwir yang begitu
tebalnya. Seorang pemula yang baru belajar pastinya akan berpikir dua kali
untuk membuka dan menyelam demi menemukan sebuah kata.
Proses yang dulu
kuukir saat masih berada di pondok, kini mulai pudar. Hanya tinggal
serpihan-serpihan memori yang masih kuingat. Lainnya, tiada tahu pada lari ke
mana. Ini yang kedua kalinya perpindahan pendidikan dan lingkungan membuatku
untuk beralih kebiasaan. Yang dulunya bersama kamus bahasa Arab, kini harus
beralih ke kamus bahasa Indonesia.
Banyak orang
menganggap bahasa Indonesia dengan pandangan yang remeh-temeh. Anggapan ini pun
sering beradampak pada hasil ujian nasional siswa-siswa SMA yang kebanyakan
nilainya jauh lebih rendah dari harapan semula. Kita bisa juga mengetahui bahwa
mahasiswa-mahasiwa sering luput dalam mengoreksi kebakuan bahasa dalam
penulisan sebuah karya ilmiah karena enggannya untuk menilik ke kamus bahasa
Indonesia.
Kini aku sudah
tak pernah membuka kamus bahasa Arab lagi. Hanya ketika melihat atau bermain-main
ke pondok, aku teringat masa-masa ketika masih belajar kitab kuning yang
ditemani oleh kamus bahasa Arab. Memang hanya sebuah kenangan. Tapi biarlah
tulisan ini mengabadikan kenangan-kenangan ku bersama kamus bahasa Arab.
Seperti itu.
(M. Zainudin
Aklis mahasiswa yang bermukim di LPM Vokal Univ. PGRI Semarang.)
Lingkungan
begitu ampuh. Ia mampu merubah dan melabeli seseorang. Hal itu juga pernah
kualami. Berawal dari perpindahan lingkungan dan pendidikan di tingkat MI ke
tingkat MTs, kebiasaan dan tingkahku harus diubah karena sebuah peraturan
lingkungan. Lingkungan yang kutempati semasa MTs ialah pondok pesantren. Saat
itu aku harus beresekolah dan belajar dipondok juga. Pondok sering diidentikkan
dengan tempat pencetak ahli agama atau seorang kiai.
Lingkungan pondok
selalu beraroma dengan dunia keagamaan dan budaya sarungnya. Semua penghuni
pondok yang bertempat tinggal di situ mempunyai kewajiban untuk belajar
Al-Qur’an serta kitab kuning. Kedua kitab itu memakai bahasa arab yang diartikan
menggunakan bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf pegon. Biasanya penulisan pegon
tersebut ditulis dengan posisi miring.
Mempelajari
kitab kuning begitu membutuhkan kesabaran, karena pembacaan kitab kuning harus
melalui beberapa kaidah, belum lagi bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab. Dari
susunan kalimat yang ada, kita perlu mencari arti kata di dalam kamus. Di kalangan
santri sering kali menggunakan kamus bahasa Arab berjudul Al-munawwir. Al-Munawwir merupakan sebuah kamus Arab-Indonesia yang
terlengkap, paling tebal, dan legendaris di Indonesia.
Karena banyaknya pesantren-pesantren yang berkiblat pada kamus
ini.
Kamus
setebal 1634 halaman ini disusun KH. Ahmad Warson Munawwir,
beliau seorang pengasuh pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Proses membaca kitab kuning pun
tak dapat lepas dari membaca kamus. Sering kali saya membuka kamus untuk
menemukan kata-kata yang sulit dan jarang ditemui. Namun, semua yang kucari
belum tentu terekam dalam memori otakku. Banyak kata yang kutemui di kamus yang
beberapa saat setelah itu tiba-tiba menghilang. Sehingga harus kubuka-buka
kembali kamus itu untuk menemukan kata-kata yang pernah kutemui.
Hal seperti itu
terjadi beberapa kali dan dapat dikatakan sering. Hingga kuputuskan untuk
mencatatnya di pojok pinggir atas dan pojok pinggir bawah. Hingga, kitabku yang
semula bersih, kini penuh dengan sebuah tulisan bahasa arab yang disebelahnya
terdapat artinya. Kitab dan kamus menjadi dua sejoli tak terpisahkan dalam
proses belajar membaca kitab kuning. Bahkan, seorang kiai yang sudah mahir
membaca kitab pun masih menggunakan kamus sebagai refrensinya.
Bagi seseorang
yang ingin belajar bahasa arab, biasanya tak menggunakan kamus Al-Munawwir,
ketebalan kamus membuat kesulitan bagi orang yang ingin membawanya kemana-mana.
Maka banyak dari santri-santri yang menambah kosa katanya dengan menggunakan
sebuah kamus yang berukuran kecil. Kamus yang biasanya berisi kegiatan, nama,
dan benda-benda yang sehari-hari kita temui di kehidupan nyata.
Belajar kamus terkadang
menemui kejenuhan dan tak luput dari hal yang menyenangkan. Berpetualang di
dalam kamus membutuhkan kesabaran karena begitu menyita banyak waktu untuk
membolak-balik halaman. Waktu ini tah ubahnya ialah ujian bagi orang yang
sedang belajar. Apalagi jika kita melihat kamus Al-munawwir yang begitu
tebalnya. Seorang pemula yang baru belajar pastinya akan berpikir dua kali
untuk membuka dan menyelam demi menemukan sebuah kata.
Proses yang dulu
kuukir saat masih berada di pondok, kini mulai pudar. Hanya tinggal
serpihan-serpihan memori yang masih kuingat. Lainnya, tiada tahu pada lari ke
mana. Ini yang kedua kalinya perpindahan pendidikan dan lingkungan membuatku
untuk beralih kebiasaan. Yang dulunya bersama kamus bahasa Arab, kini harus
beralih ke kamus bahasa Indonesia.
Banyak orang
menganggap bahasa Indonesia dengan pandangan yang remeh-temeh. Anggapan ini pun
sering beradampak pada hasil ujian nasional siswa-siswa SMA yang kebanyakan
nilainya jauh lebih rendah dari harapan semula. Kita bisa juga mengetahui bahwa
mahasiswa-mahasiwa sering luput dalam mengoreksi kebakuan bahasa dalam
penulisan sebuah karya ilmiah karena enggannya untuk menilik ke kamus bahasa
Indonesia.
Kini aku sudah tak pernah membuka kamus bahasa Arab lagi. Hanya ketika melihat atau bermain-main ke pondok, aku teringat masa-masa ketika masih belajar kitab kuning yang ditemani oleh kamus bahasa Arab. Memang hanya sebuah kenangan. Tapi biarlah tulisan ini mengabadikan kenangan-kenangan ku bersama kamus bahasa Arab. [2014]
(Mohammad Zainudin Aklis mahasiswa yang bermukim di LPM Vokal Univ. PGRI Semarang.)
Komentar
Posting Komentar