Wartawan, Membaca, dan Buku
Memang dalam perkumpulan
itu, terdengar adanya kelahiran 26 buku karya dari para wartawan dari berbagai
daerah. Hasil dari penciptaan buku ialah bukti intlektual bagi para wartawan
yang setiap harinya bekerja sebagai penulis berita. Melihat hasil buku yang
lahir dengan perbandingan jumlah dari wartawan yang tentu tak sepadan. Jumlah
yang belum representatif itu, mungkin diakibatkan adanya budaya membaca yang
kini mulai pudar di kalangan para wartawan.
Dulu, semasa di kampus,
para wartawan masih dapat berproses untuk membaca dan mencipta berbagai karya
lewat sebuah antologi atau buku. Akan tetapi, setelah menjadi wartawan di media
massa yang tiap harinya terbit, proses itu memudar. Tak banyak dari mereka yang
dapat bertahan dalam proses membaca dan mencipta sebuah tulisan antologi atau
buku, seperti ketika dulu masih di kampus.
Turunnya proses yang
dijalani ini, tak lain karena rendahnya kemauan membaca. Membaca bagi para
penulis atau wartawan adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Apalagi
wartawan yang bertugas memberi informasi dan pendidikan bagi para masyarakat.
Jika, tingkat membacanya rendah, dari mana mereka akan mendapat informasi
mendidik yang akan dikabarkan kepada masyarakat.
Keterkaitan antara
membaca dan informasi yang diberikan kepada masyarakat merupakan kerja jangka
pendek bagi wartawan. Karena kegiatan wartawan ialah menghimpun berita, mencari
fakta, dan melaporkan peristiwa. Jadi, untuk memenuhi tugasnya, watawan tak
terlalu membutuhkan intensitas membaca yang tinggi. Berbeda, ketika wartawan
berkeinginan untuk melakukan kerja jangka panjang.
Kerja jangka panjang yang
dilakukan wartawan ialah berupa sebuah karya seperti buku. Untuk memenuhi kerja
jangka panjang, mereka dituntut mempunyai intensitas membaca yang tinggi dengan
meluangkan waktunya di tengah-tengah kerja sebagai wartawan. Untuk membuat
sebuah buku, wartawan tak perlu pesimis. Beberapa pendahulu pers telah megawali
kerja jangka panjang. Marco Kartodikromo, salah satu dari wartawan yang telah
melahirkan buku, di antaraya ialah Mata
Gelap, Sair Rempah, dan Student
Hidjau.
Masih banyak
wartawan-wartawan lain yang dulunya dapat mencipta buku. Di era 1970-an kita
menemui wartawan seperti Goenawan Mohammad yang mencipta buku, salah satu
karyanya ialah Catatan Pinggir.
Selain itu ada juga, wartawan bernama Seno Gumira Aji Darma dengan beberapa
karyanya yang berupa Kitab Omong Kosong,
Penembak Misterius,dan Naga Bumi.
Wartawan sebagai orang
yang bergelut di bidang kepenulisan, jangan sampai hanya berhenti dalam batas
kerja kesehariannya, sebagai wartawan. Progam jangka panjang, berupa membaca
dan penciptaan buku perlu diagendakan. Demi menjaga dan meningkatkan intlektual
wartawan.
Ya. Membaca adalah satu
dari sekian proses yang harus menjadi perhatian khusus. S. Prasetyo Utomo,
dalam obrolannya menuturkan bahwa ia telah membaca buku yang akan dijadikannya sebuah
tulisan sebanyak lima kali. Inilah tanda bahwa proses membaca begitu penting.
Semua orang dapat membaca, akan tetapi jarang sekali yang menjadi pembaca.
Karena membaca pun membutuhkan keterampilan layaknya menulis.
Menulis tanpa membaca
tak akan dapat dilakukan. Demi mencipta buku, agenda membaca perlu digiatkan
oleh wartawan. Pendahulu pers, seperti Marco Kartodikromo, Goenawan Muhammad,
dan Seno Gumira dalam penciptaan buku pastinya tak lepas dari etos membaca yang
tinggi. Kita tentu berharap agar wartawan tetap melakukan kegiatan membaca, dan
mencipta buku, seperi pendahulunya. Alasan malas dan sibuk yang sering
diungkapkan sebagai tameng harus dihapuskan. [2015]
//Mohammad Zainudin
Aklis, bermukim di LPM Vokal Universitas PGRI Semarang
Komentar
Posting Komentar