Hingga Senja Tetap Guruku
“Calon guru, guru, gurunya-guru pasti
punya guru yang membantu mereka menjadi pintar, cerdas, dan berbudi, walapun
gurunya itu adalah buku, dirinya, dan yang mempengaruhi semua perkembangan kita
kuanggap sebagai guru”.
Enam
tahun aku belajar di sana, penjara suci “ponpes”. Selain di pondok, aku juga
sekolah di sana. Di pondok aku mempunyai guru yang selalu muncul ghirohnya
ketika mengajar. Sebut saja namanya mbah Ma’ruf, pimpinan pondok. Sejarah
beliau menjadi pemimpin pondok sangatlah panjang. Dulu, beliau ialah seorang
anak yang duduk di sekolah dasar serta sudah menyandang status yatim. Waktu itu
beliau sekolah sembari membantu ibunya berdagang. Singkat ceritanya ketika beliau
besar, ia mencari kerja kesana-kemari, tapi tak berhasil. Dan akhirnya beliau
menetapkan diri untuk menjadi seorang guru, hingga beliau wafat.
Hingga
kini, kenanganku bersama beliau belum terhapus semuanya. Salah satu keteladanan
yang masih ku ingat hingga kini ialah kesetiaannya pada shalat berjamaah. Pernah,
ketika baru datang dari sebuah pengajian, beliau belum shalat dan waktu itu
awal sholat telah berlalu. Tak langsung pulang ke rumah, namun beliau menuju
“ponpes” mencari orang yang belum sholat. Dan walaupun tadinya para santri
sudah shalat semua, ada beberapa dari mereka yang kembali mengulangi shalatnya.
Ada
lagi hal yang masih ku ingat dari beliau, yaitu sebuah petuah “ojo gumunan”.
Begitulah ucap beliau ketika memberi wejangan pada santrinya dibeberapa acara. Ojo
gumunan, kata yang sudah kuanggap sebagai benteng dari sesuatu yang belum aku
ketahui dan bersifat baru. Dan ternyata kata ini menjadi sangat membantu aku,
dan hingga kini kata itu dapat berdiri di atas perkembangan zaman.
Ada
sedikit kekecewaan yang kudapat saat menjelang muwadda’ah (perpisahan), ketika
itu aku tak dapat berphoto dan bersalaman bersama beliau. Walaupun pernah
bersalaman beberapa kali, namun salaman di saat muwadda’ah itu mempunyai nilai
lebih tersendiri, karena salaman itu kuanggap sebagai salah satu cara guna
memperoleh berkah. Ketika prosesi pemakaman, bagitu banyak orang yang datang,
jalan raya menuju makam penuh dengan para pelayat. Di belakang keranda yang
diangkat terdapat satu barisan yang melindungi dari orang-orang yang mau
mengerumuni keranda tersebut. Sampai santri yang bernama Alek berkata”kasihan
yai, beliau mau istirahat. Jangan diganggu”.
Mbah
Ma’ruf yang mengajar di kota Kretek ini, mempunyai kolega yang bernama mbah
Roni. Beliau begitu akrab dengannya, hingga kini mbah Roni masih hidup dan tiap
jum’at fajar beliau mengajar di masjid Al-Aqsha, di kota kretek. Ketika aku
mengaji dengan beliau, selalu saja ia berujar yang intinya “sesama tetangga,
saudara, dan sama-sama beragama islam kita dihimbau untuk selalu akur, walaupun
rumah kita berbeda-beda”.
Mbah
Ma’ruf dan mbah Roni adalah dua orang yang tiap hari raya Idhul Fitri selalu
banyak didatangi orang. Begitulah tradisi yang kini masih berjalan hingga saat
ini. Namun, setelah mbah Ma’ruf tinggal, kedatangan orang-orang terlihat begitu
sepi. Ya walau ada itu hanya sedikit, tak ramai seketika beliau masih sugeng. Aku begitu rindu saat-saat di
mana mbah Ma’ruf masih sugeng seperti mbah roni, sekarang ini. Tapi ini hanya
kenginan, dan tetap menjadi keinginan yang bakal tak berwujud.
Ketika
harus memutar memori tentang pertiwa masa lalu mengenai guru, aku masih harus
berfikir beberapa kali untuk memilih siapa guru yang harus ku kenang. Karena,
semua guruku baik yang di sekolah maupun di pondok, sama-sama memberikan
pengalaman yang berbeda dan bekesan semua. Kemudian kupilih dua guru ini,
karena mereka guru yang berumur sepuh serta banyak memberi pengalaman berharga
bagiku. Dan hingga nanti beliau tetap guruku. Sekian.
M.
Zainudin Aklis.
Mahasiswa
semester lima, jurusan PGSD di IKIP PGRI Semarang.
Komentar
Posting Komentar